PAPUA, DISWAY.ID - Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menegaskan pentingnya sikap terbuka terhadap kritik dan koreksi dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Ia menyebut, seorang pemimpin harus mau dikritik dan pengabdian perlu dijalankan dengan ikhlas.
Pernyataan itu disampaikan Presiden dalam pidatonya pada acara Pemusnahan Barang Bukti Narkoba di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri, Jakarta, Rabu 29 Oktober.
Kegiatan ini sekaligus menandai capaian satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto, di mana Polri berhasil menyita 214,84 ton narkotika senilai Rp29,37 triliun dan menangkap 65.572 tersangka dari 49.306 kasus sepanjang Oktober 2024 hingga Oktober 2025.
BACA JUGA:Pramono Anung Janji Respons Cepat Aduan Banjir, SDA DKI Siagakan 600 Pompa Mobile dan Ribuan Petugas
Dalam pidatonya, Prabowo berbicara dengan nada reflektif. Ia menegaskan bahwa kritik adalah bagian penting dari demokrasi, dan seorang pemimpin harus siap dikoreksi oleh rakyat maupun media.
"Bersaing bagus, kritik bagus, koreksi harus," kata Prabowo.
Prabowo bercerita, "saya malam-malam suka buka podcast-podcast (kritik) itu, kadang dongkol juga, tapi saya catat."
Ia mengatakan jika mau jadi pemimpin, maka jangan takut difitnah. Menurut Prabowo, fitnah terhadap seseorang justru merupakan tanda seseorang tersebut diperhitungkan dan ditakuti. Prabowo mengaku mengalaminya sendiri.
BACA JUGA:26 Kode Redeem FC Mobile Terbaru Hari Ini 30 Oktober 2025, Buruan Klaim dan Borong Hadiahnya!
BACA JUGA:Ribuan Guru Honorer Kepung Monas, Tuntut Status dan Kesejahteraan: Akses ke Merdeka Selatan Ditutup
"Saya dulu punya guru. Waktu saya masih muda, saya kena fitnah. Dua, tiga kali saya bangun. Saya mengeluh ke guru saya, (dia bilang), ‘jangan berkecil hati, engkau difitnah berarti engkau diperhitungkan. Engkau difitnah berarti engkau ditakuti.’ Loh kok takut sama saya? ‘Berarti kau disuruh hati-hati’,” tuturnya.
Prabowo mengaku kerap mendengar anggapan bahwa dirinya otoriter. Meskipun tak merasa demikian, kritik itu dia terima. Ia pun mengatakan pengabdian kepada negara tak boleh diiringi rasa sakit hati.
"Apa iya ya, apa saya otoriter? Perasaan enggak deh. Jadi, bagus koreksi itu, baik tapi di ujungnya. Dan saya punya filosofi dalam pengabdian kepada negara tidak boleh diikuti rasa sakit hati,” katanya.